Jumat, 16 Maret 2012

analisis putusan No. 677/Pid. B/ 2010/ PN.JKT.PST. , Atas nama Trisna Hariang Banga

A.  Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Hukuman Penjara Terhadap Perbuatan Pidana Yang Memiliki Muatan Yang Melanggar Kesusilaan (Analisis Putusan No. 677/Pid. B/ 2010/ PN.JKT.PST. , Atas nama Trisna Hariang Banga).
1.      Kasus Posisi                                                                                                 
         Bahwa Terdakwa TRISNA HARIANG BANGA pada hari dan tanggal yang tidak dapat ditentukan secara pasti bulan Agustus 2009 atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam bulan Agustus 2009 bertempat di Lantai 4 kantor PT. Dutagaruda Piranti Prima yang beralamat di Jalan Bungur Besar Raya No. 40 E Jakarta Pusat atau setidak-tidaknya pada tempat lain dimana Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkaranya karena terdakwa ditahan dan sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, (sesuai dengan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik), dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, yang dilakukan dengan kronologis sebagai berikut :
        Bahwa awalnya dari perkenalan Terdakwa dengan Saksi Lili Purnama Sari pada tahun 1998 yang bermula karena adanya kerjasama hubungan kerja, terdakwa dan saksi mepunyai hubungan khusus. pada tahun 2007 di Hotel Arjuna jalan ciumbuleuit Bandung, terdakwa merekam  adegan hubungan badan layaknya suami istri (keduanya telah berkeluarga) dengan menggunakan handphone merek Nokia type 6600 warna hitam simcard 0811845030 milik terdakwa.
                     Bahwa karena hubungan terdakwa dan saksi cukup lama dan terbuka satu sama lain maka tidak ada rahasia diantara mereka dalam segala hal salah satunya keterbukaan password email antara mereka berdua melalui website facebook, untuk berkomunikasi ke website facebook Terdakwa memiliki beberapa email dan Saksi hanya memiliki satu email.
                     Bahwa sekitar bulan November 2008 Saksi merubah atau mengganti password salah satu email Terdakwa, dan pertengkaran/pertikaian muncul diantara mereka berdua yang berlangsung sampai tahun 2009. puncak pertengkaran mereka dan kekesalan terdakwa karena password email-nya tidak diberitahu oleh korban, maka terdakwa membuat email baru di website facebook pada komputer milik kantornya tersebut dengan menggunakan nama account profil korban dan mencantumkan gambar palu dan arit, setelah selesai Terdakwa memasukan atau mentransfer file/video adegan hubungan mereka (sebagian adegan hubungan badan yang terdakwa tidak terlihat) selanjutnya memperlihatkan video kepada teman-teman Saksi melalui website tersebut dengan mengajak pertemanan kepada Saksi Reisjana Arifin, Saksi AA Gede Dwi Putranto, Saksi Mirfaqa, Saksi Triyono, Sdr. Irwan, Sdr. Edi, Sdr. Resta, Sdr. Rahman, Sdr. Iwan, Sdr Reza Salahudin yang dikenal terdakwa. Kemudian profil gambar palu arit diganti dengan gambar pemandangan dan profil nama diganti menjadi nama korban, karena mendapat pertemanan dari account profil nama Saksi, saksi-saksi tersebut menerima pertemanan (mengconfirm/menge-add) selanjutnya membuka account tersebut dan terlihat video di dalamnya, yaitu video adegan mesum saksi Lili Purnamasari tanpa menggunakan busana hanya memakai handuk sedang melakukan oral seks dengan seorang laki-laki yang tidak terlihat wajahnya, video kedua adegan saksi Lili Purnama Sari tanpa mengenakan busana dari samping dan terlihat tubuhnya dari kaki hingga kepala, video ketiga adegan saksi Lili Purnama Sari melakukan hubungan badan layaknya suami istri terlihat dari atas (kepala sampai pinggul), video keempat adegan saksi Lili Purnama Sari berbaring dan alat kelaminnya diraba dan disentuh oleh tangan seorang laki-laki yang tidak terlihat namun terdengar suara terdakwa.
            Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan penyidik  disimpulkan bahwa video dengan adegan hubungan badan layaknya suami istri dengan menggunakan account Saksi Lili Purnama Sari adalah perbuatan terdakwa TRISNA HARIANG BANGA adalah benar perbuatan terdakwa yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

2.  Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Penjara Terhadap  Perbuatan Pidana Yang Melanggar Kesusilaan
Menimbang, bahwa  oleh karena jaksa Penuntut Umum mengajukan dakwaan secara alternative dimana secara hukum memberikan pilihan pada majelis hakim untuk dapat langsung membuktikan dakwaan mana yang dianggap paling tepat berdasarkan fakta hukum yang ada untuk dibuktikan lebih dahulu, maka berdasarkan alasan hukum tersebut di atas majelis hakim akan langsung membuktikan dakwaan PERTAMA di mana terdakwa melanggar Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi :
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan  dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya  Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”.
Menimbang, bahwa atas dakwaan Penuntut umum tersebut, baik terdakwa maupun Penasehat Hukum Terdakwa tidak mengajukan Keberatan/Eksepsi, sehingga pemeriksaan perkara ini dilanjutkan.
Menimbang, bahwa untuk membuktikan dakwaannya tersebut, Jaksa Penuntut Umum di persidangan telah pula memperlihatkan bukti-bukti kepada Saksi dan Terdakwa yang dibenarkan oleh Saksi dan Terdakwa.
Menimbang bahwa Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mempunyai unsur delik sebagai berikut:
1.      Setiap Orang
2.      Dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi dan transaksi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan.

Ad.1. Unsur ”Setiap orang”
Menimbang, bahwa yang dimaksud ’setiap orang” dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah subyek hukum berupa orang maupun badan hukum (korporasi) yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap perbuatan-perbuatannya. Syarat untuk dapat dipidananya seseorang adalah adanya unsur kesalahan dan pertanggungjawaban. Untuk dapat dipertanggungjawabkan sebagai pelaku tindak pidana maka orang tersebut haruslah orang yang sehat jasmani dan rokhani, tidak ada alasan pemaaf, pembenar maupun penghapus pidana.
Menimbang, berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan ternyata benar bahwa Terdakwa TRISNA HARIANG BANGA memenuhi syarat sebagai subyek tindak pidana seperti yang dimaksud oleh unsur ”setiap orang” dalam Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, maka secara hukum unsur ini dinyatakan terpenuhi.

Ad.2. Unsur dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat sapat diaksesnya informasi dan transaksi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan.
                              Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan sengaja adalah perbuatan sengaja selalu diikuti dengan willens (menghendaki) dan wetens (disadari atau diketahui), dimana perbuatan/tindakan tertuju dan yang akibat situasi yang melingkupinya sudah dibayangkan sebelumnya. Yang dimaksud unsur tanpa hak adalah setiap orang tidak diperbolehkan menggunakan nama orang lain untuk tujuan tertentu yang merugikan atau menggangu terhadap nama orang lain yang digunakan dimaksud dan hak disini mengenai ”ijin’ dari pemilik Dokumen Elektronik dan/atau Informasi Elektronik yang dikaitkan dengan pendistribusian dan/atu pentransmisian dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut.
                              Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan dari keterangan saksi-saksi maupun keterangan terdakwa diperoleh fakta hukum dan bukti-bukti yang menguatkan bahwa terdakwa dengan sengaja melakukan perbuatan penyebaran video atau pendistribusian dokumen elektronik tersebut dengan menggunakan barang bukti beradasarkan hasil pemeriksaan  Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti Digital No. Lab. 04/I/2010/LabKomFor PMJ.
                              Menimbang, bahwa sepanjang pemeriksaan perkara ini Majelis Hakim tidak menemukan adanya alasan pemaaf pada diri Terdakwa yang dapat menghapuskan sifat melawan hukum dari perbuatannya dan meghapuskan kesalahan terdakwa, oleh karena itu Terdakwa dijatuhi pidana yang setimpal dengan perbuatannya.
            Menimbang, sebelum menjatuhkan putusan perlu dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan bagi diri Terdakwa:


Hal-hal yang memberatkan :
-          Perbuatan Terdakwa menimbulkan kerugian terhadap orang lain.
Hal-hal yang meringankan :
-          Terdakwa belum pernah dihukum.
-          Terdakwa berlaku sopan dalam persidangan.
-          Terdakwa mengakui perbuatannya.
-          Terdakwa menyesali perbuatannya.
         Mengingat Undang-Undang No.8 Tahun 1981 dan Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2008, serta peraturan lain yang berhubungan dengan perkara ini.

MENGADILI
  1. Menyatakan Terdakwa Ir. TRISNA HARIANG BANGA, telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana ”Mendistribusikan dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan yaitu Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia. No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
  2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa TRISNA HARIANG BANGA dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan dan denda Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar harus diganti dengan 1 (satu) bulan penjara.
  3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangi seluruhnya dari Pidana yang dijatuhkan.
  4. Memerintahkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan.
  5. Menetapkan, barang bukti berupa:
-    1 (satu) buah handphone merekNokia 6600 simcard 0811845030 berikut memory card dan simcard 081219252700.
-    1 (satu)  unit CPU Pentium 4 tanpa merek warna putih/krem.
-    1 (satu) keping CD berisi adegan hubungan badan Lili Purnama Sari dengan Trisna Hariang Banga.
-    3 (tiga) buah harddisk (merek seagate type barracuda 7200.10,160 gbite S/N; 6RA05W78, merek maxtor type 3,5 series fireball 20 gbite, P/N:2949230001 dan merek maxtor type diamond max plus8, 30gbite, S/N:E11FT8ZE) dirampas dan dimusnahkan.
-    Membebankan Terdakwa untuk membayar ongkos perkara Rp.5.000,- (lima ribu rupiah).

B.  Analisis Kasus
                           Dalam putusan, Majelis Hakim menyatakan bahwa terdakwa TRISNA HARIANG BANGA terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ”Mendistribusikan dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan yaitu Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia. No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik” dan menjatuhkan pidana penjara selama 4 (empat) bulan dan denda Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar harus diganti dengan 1 (satu) bulan penjara.
        Menurut penulis, hakim dalam menghadapi perkara hukum ini tidak menjelaskan unsur-unsur yang ada dari Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Seharusnya hakim bisa dapat menggunakan ilmu bantu seperti menggunakan metode penafsiran hukum apabila hukumnya dinilai tidak jelas dan tidak lengkap. Perbuatan pidana yang dilakukan oleh terdakwa, hanya merupakan perbuatan meng-upload video mesum terdakwa dengan korban yang menggunakan acount facebook. Tanpa adanya perbuatan pidana mendistribusikan atau mentransmisikan, tetapi hakim menilai perbuatan terdakwa sudah masuk dalam kualifikasi dengan sengaja mendistibusikan dan mentransmisikan dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Tanpa memberikan penjelasan dari unsur-unsur perbuatan pidana dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
  Hakim dalam menjatuhkan vonis pidana penjara terhadap Terdakwa tidak didasarkan pada doktrin hukum yang ada yakni apabila hakim merasa kesulitan dalam menemukan hukum atau menjelaskan suatu perbuatan pidana yang dihadapkan padanya, hakim seharusnya dapat menggunakan metode penafsiran hukum, untuk memberikan penjelasan perihal kasus yang di mana dalam penjelasan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terutama Pasal 27 ayat (1) tidak dijelaskan secara jelas. Hakim diberikan kebebasan oleh Undang-Undang dalam menggunakan metode penafsiran hukum apabila hukumnya tidak ada atau kurang jelas, agar tidak ada keragu-raguan dalam memutuskan perkara yang dihadapkannya.
        Kebebasan hakim dalam memberikan putusan sejalan dengan perintah Undang-Undang yang mewajibkan hakim sebagai penegak hukum dan keadilan untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Prinsip yang mengatakan bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya, dengan alasan bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Prinsip ini didasarkan kepada pandangan bahwa organ pengadilan dapat memahami hukum.
        Setiap putusan hakim harus dapat menunjukan secara tegas ketentuan hukum yang diterapkan dalam suatu perkara yang konkret. Karena hal ini sejalan dengan asas legalitas bahwa suatu tindakan haruslah berdasarkan ketentuan hukum. Asas yang menuntut suatu kepastian hukum bahwa seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan suatu perbuatan yang didakwakan kepadanya, memang telah ada sebelumnya suatu ketentuan perundang-undangan yang mengatur perbuatan yang dilarang dilakukan orang. Sehingga segala putusan hakim haruslah memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, untuk dijadikan sabagai dasar dalam mengadili.
        Dalam hukum pidana tidak semua unsur-unsur perbuatan pidana dan unsur-unsur pertanggungjawaban pidana dinyatakan secara expressis verbis (secara tegas) di dalam undang-undang pidana. Tidak disebutnya unsur-unsur delik dan unsur-unsur pertanggungjawaban pembuat delik, tidaklah berarti tanggungjawab pembuat. Unsur-unsur delik yang tidak disebut dengan tegas dinamakan kenmerk atau ciri. Unsur-unsur delik dan unsur-unsur pertanggungjawaban yang disebut dengan tegas dinamakan bestanddeel (bagian inti).[1] Inilah yang hakim lupakan dalam memutus perkara tersebut, seperti yang dikatakan oleh Roeslan Saleh, ”Perbuatan pidana adalah perbuatan yang bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum, syarat utama dari adanya perbuatan pidana adalah kenyataan bahwa ada aturan yang melarang”.[2]
              Menurut pendapat penulis, dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam memutus perkara terhadap terdakwa, hakim hanya berpatokan pada penjatuhan pidana dan menyatakan sependapat dengan dakwaan yang di ajukan oleh penuntut umum. dan Majelis Hakim meyakini perbuatan Terdakwa memenuhi unsur-unsur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Hal ini terbukti dalam pertimbangan hakim yang mengaitkan dakwaan sesuai Pasal 27 ayat (1) berkenaan tentang penjatuhan pidana penjara dan denda dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
        Meskipun rumusan dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tidak dijelaskan secara eksplisit oleh Undang-Undang Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, seharusnya hakim memberikan penjelasan di dalam dasar pertimbangannya mengenai unsur-unsur yang ada dalam Pasal 27 ayat (1) menurut pengetahuannya sendiri ataupun menurut sumber-sumber yang lain, agar memberikan kejelasan dan kepastian hukum bagi pihak korban maupun pihak terdakwa.
              Selain mempertimbangkan putusan berdasarkan dasar hukum yang ada dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Hakim sebagai pelaksana hukum dan sekaligus penegak hukum seharusnya mampu menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan peristiwa hukumnya yang konkrit terjadi. Dalam konteks ini hakim bertindak seperti pandangan yang logicistis yaitu hakim yang menggunakan logika yang tepat dalam mengadili suatu perkara dan hakim tunduk dengan undang-undang.
  Berdasarkan analisis di atas, penulis menyimpulkan, bahwa dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana penjara terhadap perbuatan pidana dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan dalam putusan No. 677/PID.B/2010/PN.JKT.PST. atas nama TRISNA HARIANG BANGA, didasarkan pada pandangan positivis.
        Menurut hemat penulis, putusan hakim dalam penjatuhan pidana    penjara selama 4 (empat) bulan terhadap terdakwa dalam putusan ini adalah tidak tepat, karena dalam dasar pertimbangan hakim tidak mencantumkan atau tidak menjelasakan unsur mendistribusikan dan/atau mentransmisikan yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Seharusnya hakim dalam menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa, berusaha untuk memberikan penjelasan di dalam dasar pertimbangan hakim tentang makna Undang-Undang  yang tidak dijelaskan secara eksplisit dengan menggunakan metode penafsiran hukum.
              Menurut pendapat Penulis Jika melihat Perkara ini, seharusnya hakim bisa menggunakan beberapa metode penafsiran hukum diantaranya hakim dapat menggunakan metode penafsiran hukum secara gramatikal dan sosiologis, Penafsiran gramatikal merupakan cara penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya. Interpretasi menurut bahasa ini selangkah lebih jauh sedikit dari pada hanya sekedar “membaca undang-undang”. Di sini ketentuan atau kaidah hukum (tertulis) diartikan menurut arti kalimat atau bahasa sebagaimana diartikan oleh orang biasa yang menggunakan bahasa secara biasa (sehari-hari). [3]
              Dalam penafsiran sosiologis suatu peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan situasi sosial yang baru. Peraturan perundang-undangan yang sudah usang tetapi masih berlaku diaktualisasikan sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan hukum masa kini. Jadi penafsiran sosiologis adalah suatu penafsiran untuk memahami suatu peraturan hukum, sehingga peraturan hukum tersebut dapat diterapkan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat.[4]
        Hakim wajib menemukan hukum demi terwujudnya suatu putusan yang adil. Karena dengan melakukan penafsiran hukum, hakim akan dapat menetukan suatu perbuatan pidana yang tidak jelas atau tidak lengkap dalam Undang-Undang. Agar dapat menghasilkan putusan hakim yang dinilai lebih adil dan tidak sewenang-wenang dalam memutus perkara yang dihadapkannya.



[1] Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika,2007), hlm. 222-223.
[2] Roeslan saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana, (Jakarta: Penerbit Aksara Baru,1981), hlm.IX.
             [3]  Mochtar Kusumaatmadja, dan Arief SidhartaPengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1999), hlm .100.
                [4] Pontang Moerad, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara  Pidana   (Bandung: Penerbit PT Alumni, 2005), hlm. 92.

Selasa, 13 Maret 2012

Berbagai Cara Penafsiran Dalam Ilmu Hukum


1. Metode Penafsiran Hukum
a.       Penafsiran gramatikal merupakan cara penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya. Interpretasi menurut bahasa ini selangkah lebih jauh sedikit dari pada hanya sekedar “membaca undang-undang”. Di sini ketentuan atau kaidah hukum (tertulis) diartikan menurut arti kalimat atau bahasa sebagaimana diartikan oleh orang biasa yang menggunakan bahasa secara biasa (sehari-hari). [1]
b.      Penafsiran historis merupakan suatu interpretasi yang luas yang juga meliputi interpretasi sejarah perundang-undangan. Sedangkan interpretasi sejarah perundang-undangan bersifat lebih sempit, yaitu menyelidiki maksud pembuat peraturan dalam menetapkan peraturannya. Penafsiran hukum atau perundang-undangan menurut sejarah ini ada dua macam, yakni penafsiran menurut sejarah hukum (rechthistorische interpretatie) dan penafsiran menurut sejarah penetapan peraturan perundang-undangan (wethistorische interpretatie). Penafsiran yang pertama merupakan penafsiran yang luas dan meliputi penafsiran yang kedua, yang merupakan penafsiran yang sempit. Penafsiran sejarah hukum menyelidiki asal-usul sampai berlakunya suatu peraturan perundang-undangan saat ini di masyarakat, dari suatu sistem hukum lain yang sekarang masih berlaku di suatu negeri lain. Menurut pandangan Poentang Moerad, Penafsiran sejarah dalam penetapan undang-undang yang lebih sempit adalah penafsiran hukum yang hanya menyelidiki maksud pembuat undang-undang menetapkan suatu peraturan perundang-undangan. Untuk itu, dapat dilakukan dengan mempelajari dokumen-dokumen yang berisi tentang proses terjadinya suatu undang-undang mulai dengan diajukannya rancangan undang-undang ke DPR, nota pengantar dari pemerintah, pembahasa dalam siding-sidang di DPR sampai dengan suatu rancangan disahkan dan diundangkan dalam lembaran Negara.[2] Undang-undang itu tidak terjadi begitu saja. Undang-undang selalu merupakan reaksi terhadap kebutuhan sosial untuk mengatur yang dapat dijelaskan secara historis. Setiap pengaturan dapat dilihat sebagai satu langkah dalam perkembangan masyarakat. Suatu langkah yang maknanya dapat dijelaskan apabila langkah-langkah sebelumnya diketahui juga. Ini meliputi seluruh lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan undang-undang.[3]
c.       Penafsiran sistematis yaitu penafsiran yang memperhatikan susunan kata-kata yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam undang-undang itu sendiri maupun undang-undang lainnya [4]
d.      Penafsiran teleologis (sosiologis), hukum adalah gejala sosial sehingga setiap peraturan hukum mempunyai tujuan sosial. Akan tetapi tujuan sosial peraturan perundang-undangan tidak senantiasa dapat diketahui dari kata-kata perundang-undangan itu sendiri. Karena itu hakim harus selalu mencarinya dengan melakukan penafsiran.
                  Dalam penafsiran sosiologis suatu peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan situasi sosial yang baru. Peraturan perundang-undangan yang sudah usang tetapi masih berlaku diaktualisasikan sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan hukum masa kini. Jadi penafsiran sosiologis adalah suatu penafsiran untuk memahami suatu peraturan hukum, sehingga peraturan hukum tersebut dapat diterapkan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat.[5]
e.       Penafsiran Interdisipliner, penafsiran jenis ini biasa dilakukan dalam suatu analisis masalah yang menyangkut berbagai disiplin ilmu hukum. Di sini digunakan logika lebih dari satu cabang ilmu hukum. Hakim akan melakukan penafsiran yang disandarkan pada harmonisasi logika yang bersumber pada asas-asas hukum lebih dari satu cabang kekhususan dalam disiplin ilmu hukum.[6]
f.       Penafsiran multidisipliner, berbeda dengan penafsiran interdisipliner yang masih berada dalam  rumpun disiplin ilmu yang bersangkutan, dalam penafsiran multidisipliner seorang hakim harus juga mempelajari suatu atau beberapa disiplin ilmu lainnya diluar ilmu hukum. Dengan kata lain, di sini hakim membutuhkan verivikasi dan bantuan dari lain-lain disiplin ilmu.[7] Hakim dalam menyikapi suatu permasalahan yang berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan ilmu hukum, tetapi karena suatu perkara yang diperiksa, hakim memerlukan kejelasaan akan suatu makna dalam peraturan perundang-undangan atau suatu makna perbuatan terdakwa, maka hakim memerlukan bantuan ahli dari disiplin ilmu yang relevan untuk membantunya mencari penjelasan tersebut, dan biasanya keterangan tersebut diberikan di depan persidangan dalam bentuk keterangan ahli, yang merupakan salah sati alat bukti dalam perkara pidana.[8]
        2.  Metode Konstruksi Hukum
a.       Penafsiran analogis yaitu penafsiran dengan memberi ibarat (kias) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga suatu peristiwa yang tidak cocok dengan peraturannya, dianggap sesuai dengan bunyi peraturan itu.[9] Dalam analogi, hakim memasukkan suatu perkara ke dalam lingkup pengaturan suatu peraturan perundang-undangan yang sebenarnya tidak dimaksudkan untuk menyelesaikan perkara yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan adanya kesamaan unsur dengan perkara atau fakta-fakta yang dapat diselesaikan langsung oleh peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Berdasarkan anggapan itulah hakim kemudian memberlakukan peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada perkara yang sedang dihadapinya. Dengan kata lain, penerapan suatu ketentuan hukum bagi keadaan yang pada dasarnya sama dengan keadaan yang secara eksplisit diatur dengan ketentuan hukum tadi, tapi penampilan atau bentuk perwujudannya (bentuk hukum) lain.
b.      Penafsiran a contrario yaitu penafsiran dengan cara melawankan pengertian antara soal yang dihadapi dengan masalah yang diatur dalam suatu pasal undang-undang. Dalam keadaan ini, hakim akan memberlakukan peraturan perundang-undangan yang ada seperti pada kegiatan analogi, yaitu menerapkan suatu peraturan pada perkara yang sebenarnya tidak dimaksudkan untuk diselesaikan oleh peraturan itu.
c.       Penghalusan hukum, Penghalusan hukum dilakukan apabila penerapan hukum tertulis sebagaimana adanya akan mengakibatkan ketidakadilan yang sangat sehingga ketentuan hukum tertulis itu sebaiknya tidak diterapkan atau diterapkan secara lain apabila hendak dicapai keadilan. Jenis konstruksi ini sebenarnya merupakan bentuk kebalikan dari konstruksi analogi, sebab bila di satu pihak analogi memperluas lingkup berlaku suatu peraturan perundang-undangan, maka di lain pihak Penghalusan Hukum justru mempersempit lingkup berlaku suatu peraturan perundang-undangan (bersifat restriktif).


      C. Kepastian Hukum dan Kemerdekaan
             Ada dua aliran yang berkembang tentang sebatas mana seorang hakim bisa menemukan hukum, yaitu penganut doktrin sensclair dan penganut penemuan hukum harus selalu dilakukan. Di sinilah terjadi benturan antara kepastian hukum dan kemerdekaan. Kendati menerima penafsiran, aliran pertama menghendaki agar lingkaran peraturan itu tidak diterobos keluar. Metode-metode penafsiran yang dipakai, seperti penafsiran gramatikal, historis, sistematis misalnya, tetap harus berlangsung dalam lingkaran undang-undang. Aliran tersebut bahkan menerima konsekuensi disebut mengabadikan ketidakadilan manakala suatu peraturan dinilai tidak adil, maka demi kepastian “kepastian dari ketidakadilan” atau kepastian yang tidak adilpun diterima sebagai resiko atau ongkos yang harus dibayar. Di sisi lain, kemerdekaan tidak bisa menerima peraturan yang dirasa tidak adil dan karena itu memilih melakukan pembebasan dan keluar dari lingkaran peraturan yang ada. Inilah esensi dari aliran Realisme.
 Penegakan hukum itu bukan semata-mata pekerjaan mesin yang otomatis dan linier, akan tetapi penuh kreatifitas. Pekerjaan menemukan hukum adalah pekerjaan kreatif dan di situlah terletak penafsiran. Penafsiran yang kreatif dan inovatif merupakan salah satu kritik atas metode penemuan hukum yang positivistik yang berkembang di abad 19 (sembilan belas) yang merupakan pengaruh ajaran Trias Politica Montesquieu. Trias Polica memberikan pemisahan yang jelas antara eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pemisahan tersebut menentukan batas yang tegas bagi penegakan hukum sehingga tidah boleh sama sekali memasuki ranah perbuatan hukum. Penemuan hukum didirikan sebagai bagian dari penerapan aturan terhadap kenyataan dan aturan itu hanya diberikan oleh undang-undang. Suatu putusan tidak boleh dibatalkan atas pertimbangan yang sifatnya umum, melainkan hanya manakala terjadi kesalahan dalam penerapan undang-undang. Hakim tidak diperbolehkan “mengganggu” undang-undang dengan putusannya. Kodifikasi yang merupakan ciri positivisme beranggapan bahwa legislatif dengan segala kekuatannya telah mengatur semua kejadian yang akan datang. Tidak ada kekosongan dan cacat di dalamnya, sehingga penafsiran adalah sebuah kegiatan yang tidak diperlukan bahkan dianggap berlebihan. Memang undang-undang sebagai karya manusia mengandung cacat, akan tetapi itu harus dikembalikan pada badan legislatif. Bukan menjadi tugas hakim untuk memberikan penafsiran guna mengurangi cacat atau kekosongan itu. Sumber hukum tersebar pada berbagai sumber lain. Sejak kekuasaan tidak lagi dimonopoli oleh badan legislatif, maka hakim muncul sebagai pusat yang baru (Judge Made Law). [10]


[1] Mochtar, Kusumaatmadja, dan Arief SidhartaPengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1999), hlm .100.

[2]    Poentang, Moerad, Ibid, hlm. 91.
[3] Sudikno ,Mertokusumo, , Mengenal Hukum  Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Penerbit   Liberty, 2005 ), hlm. 173.
[4]  J.B. Daliyo, Ibid, hlm.13.
                [5]  Pontang, Moerad, Ibid, hlm. 92.
                [6]  Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2010),hlm. 72.
               [7] Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, (Bandung : Penerbit Alumni, 2000), hlm. 12.
               [8]  Yudha Bhakti Ardhiwisastra op.cit. hlm.74.
               [9]  J.B. Daliyo,  op.cit. hlm. 114.
[10] Satjipto, RahardjoPenafsiran Hukum yang Progresif”,(Bandung: Refika Aditama, 2005), hlm. 13.

Kamis, 08 Maret 2012

PEMBUKTIAN DALAM HUKUM PIDANA


PEMBUKTIAN DALAM HUKUM PIDANA


Pembuktian adalah ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan boleh digunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan (M. Yahya Harahap SH).

Ruang Lingkup Pembuktian
1.    Sistem pembuktian
2.    Jenis alat bukti
3.    Cara menggunakan dan nilai
4.    Kekuatan pembuktian masing-masing alat bukti

Sistem Pembuktian
1.    Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim belaka atau ”conviction intime”
2.    Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif atau ”wettelijk stesel”
3.    Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis atau ”laconvictioan raisonel”
4.    Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif atau ”negatif wettelijk stesel”

Teori/Sistem Pembuktian
1.    Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim belaka (conviction intime)
Terbukti tidaknya kesalahan terdakwa semata-mata ditentukan atas penilaian keyakinan atau perasaan hakim. Dasar hakim membentuk keyakinannya tidak perlu didasarkan pada alat bukti yang ada.
2.    Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positif wettelijk bewijs theori)
Apabila suatu perbuatan terdakwa telah terbukti sesuai dengan alat-alat bukti sah menurut undang-undang, maka hakim harus menyatakan terdakwa terbukti bersalah tanpa mempertimbangkan keyakinannya sendiri
3.    Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (conviction rasionnee)
Putusan hakim didasarkan atas keyakinannya tetapi harus disertai pertimbangan dan alasan yang jelas dan logis. Di sini pertimbangan hakim dibatasi oleh reasoning yang harus reasonable.
4.    Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatif wettelijk bewijs theorie)
-          Sistem pembuktian ini berada diantara sistem positif wettelijk dan sistem conviction resionnee
-          Salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan pada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang.

Jadi sistem pembuktian yang dianut peradilan pidana Indonesia adalah sistem pembuktian ”negatief wettelijk stelsel” atau sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif yang harus:
-       Kesalahan terbukti dengan sekurang-kurangnya ”dua alat bukti yang sah”
-       Dengan alat bukti minimum yang sah tersebut hakim memperoleh keyakinan bahwa telah terjadi tindak pidana dan terdakwalah pelakunya.

Sistem Pembuktian Yang Dianut Indonesia
-          Pasal 183 KUHAP ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Prinsip Minimum Pembuktian
Asas minimum pembuktian merupakan prinsip yang mengatur batas yang harus dipenuhi untuk membutikan kesalahan terdakwa yaitu :
-          Dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti sah (dengan hanya satu alat bukti belum cukup).
-          Kecuali dalam pemeriksaan perkara dengan cara pemeriksaan ”cepat”, dengan satu alat bukti sah saja sudah cupuk mendukung keyakinan hakim.

Prinsip Pembuktian
1.    Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan (notoire feiten)
2.    Satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis).
3.    Pengakuan (keterangan) terdakwa tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah.

BUKTI, BARANG BUKTI DAN ALAT BUKTI

BUKTI
KUHAP tidak menjelaskan apa itu bukti. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, bukti ialah suatu hal atau peristiwa yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran suatu hal atau peristiwa. Tindakan penyidik membuat BAP Saksi, BAP Tersangka, BAP Ahli atau memperoleh Laporan Ahli, menyita surat dan barang bukti adalah dalam rangka mengumpulkan bukti.
Dengan perkataan lain bahwa :
1.   Berita Acara Pemeriksaan Saksi;
2.   Berita Acara Pemeriksaan Tersangka;
3.   Berita Acara Pemeriksaan Ahli/Laporan Ahli;
4.   Surat dan Barang bukti yang disita, kesemuanya mempunyai nilai sebagai BUKTI.

BARANG BUKTI
Barang bukti ialah benda baik yang bergerak atau tidak bergerak, yang berwujud maupun yang tidak berwujud yang mempunyai hubungan dengan tindak pidana yang terjadi. Agar dapat dijadikan sebagai bukti maka benda-benda ini harus dikenakan penyitaan terlebih dahulu oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya benda yang dikenakan penyitaan berada. Kecuali penyitaan yang dilakukan oleh penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi tidak perlu ada izin ketua pengadilan negeri setempat.
Adapun benda-benda yang dapat dikenakan penyitaan adalah :
1.   benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruhnya atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana,
2.   benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya.
3.   benda yang dipergunakan menghalang-halangi penyidikan tindak pidana.
4.   benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana.
5.   benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

ALAT BUKTI
KUHAP juga tidak memberikan pengertian mengenai apa itu alat bukti. Akan tetapi pada Pasal 183 KUHAP disebutkan ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Rumusan pasal ini memberikan kita garis hukum, bahwa :
1.   alat bukti diperoleh dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan.
2.   hakim mengambil putusan berdasarkan keyakinannya.
3.   keyakinan hakim diperoleh dari minimal dua alat bukti yang sah.
Adapun alat bukti yang sah sebagaimana Pasal 184 KUHAP ialah :
1.   keterangan saksi
2.   keterangan ahli
3.   surat
4.   petunjuk
5.   keterangan terdakwa

KETERANGAN SAKSI
Keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, lihat sendiri, alami sendiri dengan menyebutkan alasan pengetahuannya itu.
Syarat Sah Keterangan Saksi
1.   Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji (sebelum memberikan keterangan)
2.   Keterangan saksi harus mengenaiperistiwa pidana yang saksi lihat sendiri dengan sendiri dan yang dialami sendiri, dengan menyebutkan  alasan pengetahuannya (testimonium de auditu = terangan yang diperoleh dari orang lain tidak mempunyai nilai pembuktian).
3.   Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan (kecuali yang ditentukan pada pasal 162 KUHAP).
4.   Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa (unus testis nullus testis).
5.   Pemeriksaan menurut cara yang ditentukan undang-undang
Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi
Yang memenuhi syarat sah keterangan saksi (5 syarat) :
1.   Diterima sebagai alat bukti sah
2.   Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas (bersifat tidak sempurna dan tidak mengikat)
3.   Tergantung penilaian hakim (hakim bebas namun bertanggung jawab menilai kekuatan pembuktian keterangan saksi untuk mewujudkan kebenaran hakiki).
4.   Sebagai alat bukti yang berkekuatan pembuktian bebas, dapat dilumpuhkan terdakwa dengan keterangan saksi a de charge atau alat bukti lain.

KETERANGAN AHLI
Keterangan yang diberikan oleh orang memiliki keahlian tentang hal yang diperlukan membuat terang suatu perkara pidana untuk kepentingan pemeriksaan. 
Syarat Sah Keterangan Ahli
1.   Keterangan diberikan oleh seorang ahli
2.   Memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu
3.   Menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya
4.   Diberikan dibawah sumpah/ janji:
-  Baik karena permintaan penyidik dalam bentuk laporan
-  Atau permintaan hakim, dalam bentuk keterangan di sidang pengadilan
Jenis Keterangan Ahli
1.   Keterangan ahli dalam bentuk pendapat/ laporan atas permintaan penyidik)
2.   Keterangan ahli yang diberikan secara lisan di sidang pengadilan (atas permintaan hakim)
3.   Keterangan ahli dalam bentuk laporan atas permintaan penyidik/ penuntut hukum
DUA KETERANGAN AHLI = SATU ALAT BUKTI.
DUA KETARANGAN AHLI = DUA ALAT BUKTI.
Contoh merupakan satu alat bukti :
-       Keterangan ahli A : Sebab matinya korban karena rusaknya jaringan otak
-       Ketarangan ahli B : luka pada kepala korban menembus batok akibat peluru keliber 45
Contoh merupakan dua alat bukti :
-       Keterangan Ahli A : Sebab kematian korban karena mati lemas akibat tersumbatnya saluran pernafasan.
-       Keterangan Ahli B : Sidik jari pada leher korban identik dengan sidik jari terdakwa.
Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Ahli
1.    Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas
2.    Tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat atau menentukan
3.    Penilaian sepenuhnya terserah pada hakim

SURAT
-       Surat Keterangan dari seorang ahli
-       Memuat pendapat berdasarkan keahliannya,
-       Mengenai suatu hal atau suatu keadaan
-       Yang diminta secara resmi dari padanya
-       Dibuat atas sumpah jabatan, atau dikuatkan dengan sumpah
Contoh : Visum et Repertum
Ada 2 bentuk surat :
1.   Surat Authentik/ Surat Resmi
-  Dibuat oleh pejabat yang berwenang, atau oleh seorang ahli atau dibuat menurut ketentuan perundang-undangan
-  Dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah
2.   Surat Biasa/Surat Di Bawah Tangan
-  Hanya berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Contoh : Izin Bangunan, Akte Kelahiran, Paspor, Kartu Tanda Penduduk, Ijazah, Surat Izin Mengemudi, dll.
Nilai Kekuatan Pembuktian Surat
1.   Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas
2.   Tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat atau menentukan (lain halnya dalam acara perdata)
3.   Penilaian sepenuhnya terserah keyakinan hakim :
Dalam Acara Perdata, akta otentik menjadi bukti dari kebenaran seluruh isinya, sampai dibuktikan kepalsuannya. Hakim harus mengakui kekuatan akta otentik sebagai bukti diantara para pihak, sekalipun ia sendiri tidak yakin akan kebenaran hasilnya.
Sifat Dualisme Laporan Ahli, Keterangan ahli dalam bentuk pendapat/ laporan :
a)    Sebagai alat bukti keterangan ahli :
Penjelasan Pasal 186:
Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyelidik atau penuntu umum yang dituangkan dalam bentuk suatu laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah pada waktu menerima jabatan atau pekerjaan.
b)    Sebagai alat bukti surat
Pasal 187 c:
Surat keterangan dari seorang ahli yang membuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau suatu hal atau suatu keadaan yang diminga secara resmi daripadanya.

KETERANGAN TERDAKWA
a.   Keterangan terdakwa sendiri :
-  Pengakuan bukan pendapat
-  Penyangkalan
b.   Tentang perbuatan yang ia sendiri
-  Lakukan, atau
-  Ketahui atau
-  Alami
c.   Dinyatakan di sidang :
-  Keterangan yang terdakwa berikan di luar sidang pengadilan dapat digunakan membantu menemukan bukti di sidang.
Keterangan Terdakwa Diluar Sidang
Dapat digunakan membantu menemukan bukti disidang asalkan:
-    Didukung oleh suatu alat bukti yang sah
-    Mengenai hal yang didakwakan kepadanya
Contoh : Berita Acara Tersangka oleh penyidik.
Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Terdakwa
1.   Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas hakim tidak terikat dengan keterangan yang bersifat pengakuan utuh/ murni sekalipun pengakuan harus memenuhi batas minimum pembuktian
2.   Harus memenuhi asas keyakinan hakim
3.   Dalam Acara Perdata suatu pengakuan yang bulat dan murni melekat penilaian kekuatan pembuktian yang sempurna, mengikat dan menentukan.

PETUNJUK
1.   Perbuatan, atau kejadian atau keadaan
2.   Karena persesuainnya satu dengan yang lain
3.   Persesuainnya dengan tidak pidana itu sendiri
4.   Menunjukkan telah terjadi suatu tindak pidana, dan
5.   Siapa pelakunya
Sumber Perolehan Petunjuk
Petunjuk hanya diperoleh dari :
-       Keterangan saksi
-       Surat
-       Keterangan terdakwa
-       Keterangan ahli